1. Connectionism
(Koneksionisme)
Teori connectionism (koneksionisme) adalah teori yang ditemukan dan
dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen yang
ia lakukan pada tahun 1980-an. Eksperimen Thorndike in digunakan hewan-hewan
terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar. Berdasarkan eksperimen yang
dilakukan Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus
dan respon. Itulah sebabnya teori koneksionisme disebut “S-R Bond Theory” dan
“SR Psychology of Learning” selain itu, teori itu dikenal dengan sebutan “Trial
and Error Learning”. Istilah itu menunjukkan panjangnya waktu dan banyak jumlah
kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan (Hillgard dan Bower, 1975).
2. Classical
Conditioning (Pembiasaan Klasik)
Teori pembiasaan klasik berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang
dilakukan oleh Ivan Paulov (1849-1936), seorang ilmuwan besar Rusia yang
berhasil menggondol hadiah nobel (1909). Pada dasarnya classical conditioning
adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan
stimulus sebelum terjadi refleks tersebut (Terrace, 1973).
Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui
hubungan-hubungan antar conditional stimulus (CS), unconditioned stimulus
(UCS). Conditioned response (CR), dan unconditioned response (UCR). CS adalah
rangsangan yang mampu mendatangkan respon yang dipelajari, sedangkan respon
yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang
menimbulkan respon yang tidak dipelajari dan respon yang tidak dipelajari itu
disebut UCR.
Dari hasil eksperimen yang dilakukan, bahwa belajar adalah perubahan yang
ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Apabila stimulus
yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS). Stimulus tadi
(CS) cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respon atau perubahan yang
kita hendaki yang dalam hal ini CR.
3. Operant
Conditioning (Pembiasaan Perilaku Respon)
Teori ini dikembangkan oleh Burrhus Frederic Skinner. Operant conditioning
adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap
lingkungan yang dekat (Reber, 1980). Respon dalam operant conditioning terjadi
tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh
reinforcer. Reinforcer adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya
sejumlah respon tertentu namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus
lainnya.
Dalam eksperimennya, skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan
dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box”. Peti
sangkar ini terdiri atas dua macam komponen pokok, yakni : manipulandum dan
alat pemberi reinforcement yang antara lain komponen yang dapat dimanipulasi
dan gerakannya berhubungan dengan reinforcement. Komponen ini terdiri atas
tombol, batang jeruji, dan pengungkit (Reber, 1988).
4. Contiguous
conditioning (pembiasaan asusiasi dekat)
Teori contiguous conditioning adalah sebuah teori belajar yang
mengasumsikan terjadinya peristiwa belajar berdasarkan kedekatan hubungan
antara stimulus dengan respon yang relevan.
Teori ini ditemukan oleh Edwin R. Guthrie. Menurut teori ini apa yang
sesungguhnya dipelajari orang, misalnya seorang siswa, adalah reaksi atau
respons terakhir yang muncul atas sebuah rangsangan atau stimulus. Artinya,
untuk selamanya atau sama sekali tidak terjadi (Reber, 1989 : 153). Dalam
pandangan penemu teori ini peningkatan berangsur-angsur kinerja hasil belajar
yang lazim dicapai seorang siswa bukanlah hasil dari respons kompleks terhadap
stimulus-stimulus melainkan karena dekatnya asosiasi antara stimulus dengan
respon yang diperlukan.
5. Social
Learning theory (teori belajar sosial)
Tokoh utama teori ini adalah Albert Bandura. Bandura memandang tingkahlaku
manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus, melainkan reaksi yang
timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia
itu sendiri.
Prinsip dasar belajar hasil temuan Bandura termasuk belajar sosial dan
moral. Menurut Barlow (1985), sebagian besar dari yang dipelajari manusia
terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).
Dalam hal ini seorang siswa belajar mengubah perilakunya sendiri melalui
penyaksian siswa belajar mengubah perilakunya sendiri melalui penyaksian orang
lain atau sekelompok orang mereaksi atau merespon sebuah stimulus tertentu.
Siswa ini juga dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan
terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya guru atau oran tuanya.
Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan
moral siswa ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan, merespon) dan
imitation (peniruan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar