MAKALAH
TEORI PSIKOLOGI
BELAJAR DAN APLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN
Disusun guna memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah
Psikologi Belajar
Dosen Pengampu :
M.Mahdi, M.Pd
Oleh :
Desi Mayasari
1110500037
III F
BIMBINGAN DAN
KONSELING
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
PANCASAKTI TEGAL
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Psikologi adalah suatu ilmu yang
mengkaji perilaku individu dalam interaksi dengan lingkunganannya. Perilaku
yang dimaksud adalah dalam pengertian yang luas sebagai manifestasi hayati
(hidup) yang meliputi motorik, kognitif, konatif dan afektif. Peran psikologi
dalam pembelajaran dan pengajaran yaitu dapat menciptakan suatu proses
pembelajaran dan pengajaran yang efektif. psikologi pendidikan merupakan cabang
yang secara mengkaji perilaku individu dalam kaitan dengan situasi pendidikan.
Menurut Skiner, belajar merupakan
suatu proses adaptasi yang berlangsung secara progresif; belajar akan mendapat
hasil optimal jika ada reinforcement; timbulnya hubungan tingkah laku antara
stimulus dan respon.
Pendidikan adalah upaya dalam
mempengaruhi individu agar berkembang menjadi manusia yang sesuai di kehendaki.
Peranan psikologi dalam pembelajaran pengajaran upaya untuk mewujudkan perilaku
pembelajaran pada siswa. Beberapa peranan tersebut antara lain memahami siswa
sebagai pelajar, memahami prinsip-prinsip dan teori pengajaran, memilih
metode-metode pembelajaran dan pengajaran, menetapkan tujuan pembelajaran dan
pengajaran, memilih dan menerapkan isi pengajaran, membantu siswa-siswa yang
mendapat kesulitan pembelajaran, memilih alatbantu pembelajaran dan pengajaran.
B.
Rumusan
Masalah
1. Mengetahui
konsep belajar behavioral klasik;
2. Bagaimana
aplikasi teori behavioral klasik dalam pendidikan;
3. Serta
bagaimana implikasi teori behavioral klasik dalam pendidikan.
C.
Tujuan
Tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
Ø Memenuhi
tugas Mata Kuliah Psikologi Belajar.
Ø Untuk
meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang berbagai konsep teori belajaran dan
penerapannya dalam pendidikan.
D.
Manfaat
Manfaat yang dapat kita peroleh dari penulisan makalah ini adalah kita sebagai
calon konselor harus mengetahui bagaimana cara belajar siswa serta bagaimana
penerapan konsep belajar dalam pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Belajar
Behavioral Klasik
Teori ini memandang manusia sebagai produk lingkungan.
Artinya, segala perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di
dalam lingkungan sekitarnya. Di mana lingkungan tempat manusia tinggal, di
sanalah seluruh kepribadiannya akan terbentuk. Lingkungan yang baik akan
membentuk manusia menjadi baik. Juga sebaliknya, lingkungan yang jelek akan
menghasilkan manusia-manusia yang bermental jelek sesuai dengan kondisi
lingkungan tadi.
Selain itu, konsep belajar behavioristik juga
menjelaskan bahwa belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati,
diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan
(stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan
hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak,
baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan
respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans.
Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku
S-R (stimulus-Respon).
1. Ivan Petrovich Pavlov
(1849-1936).
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia
yaitu desa tempat ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang
pendeta. Ia dididik di sekolah
gereja dan melanjutkan ke Seminar Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjana
kedokteran dengan bidang dasar fisiologi. Pada tahun 1884 ia menjadi Direktur
Departemen Fisiologi pada Institute Of Experimental Medicine dan memulai
penelitian mengenai fisiologi pencernaan. Ivan Pavlov meraih penghargaan
nobel pada bidang Physiology or Medicine tahun 1904. Karyanya mengenai
pengkondisian sangat mempengaruhi psikologi behavioristik di Amerika. Karya tulisnya adalah Work of Digestive Glands (1902) dan Conditioned
Reflexes (1927).
a. Karakter Classical Conditioning
Classical conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah sebuah prosedur penciptaan
refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks
tersebut. (Terrace, 1973). Selain itu, ada pula proses yang ditemukan
Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral
dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga
memunculkan reaksi yang diinginkan.
Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan
ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana
gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai
dengan pendapat (Bakker, 1985) bahwa yang paling sentral dalam hidup
manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan
mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu.
Bertitik tolak dari
asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku
manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang diiginkan. Kemudian Pavlov
mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap
binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala
kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.
Ia mengadakan
percobaan dengan cara melakukan operasi leher pada seekor anjing sehingga
kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu
makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut. Namun sebelum makanan
diperlihatkan, diperdengarkan bunyi bel terlebih dahulu. Dengan sendirinya air
liurpun akan keluar. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang,
maka pada suatu ketika dengan hanya membunyikan bel saja tanpa makanan maka air
liurpun akan keluar dengan sendirinya. Eksperimen ini kemudian diulang-ulang
dengan berbagai variasi, namun dapat disimpulkan bahwa:
·
Anjing
dibiarkan lapar, setelah itu bel dibunyikan; anjing mendengarkan benar-benar
bunyi bel tersebut. Setelah bel berbunyi selama 30 detik, makanan diberikan dan
terjadilah refleks pengeluaran air liur.
·
Percobaan tersebut diulang-ulang
berkali-kali dengan jarak waktu 15 menit.
·
Setelah diulang 32 kali, ternyata bunyi
bel saja (± 30 detik) telah dapat menyebabkan keluarnya air liur dan ini
bertambah deras kalau makanan diberikan.
Dari eksperimen ini, dapat diketahui bahwa:
·
Bel merupakan CS (Conditioned
Stimulus/perangsang bersyarat) dan makanan merupakan US ( Unconditioned
Stimulus/ perangsang tak bersyarat).
·
Keluarnya air liur karena bel merupakan CS
(Conditioned Stimulus/perangsang bersyarat).
·
Makanan atau perangsang wajar (US) disebut
juga reinforcer (=penguat). Karena memperkuat refleks bersyarat dan menimbulkan
respon lebih kuat daripada refleks bersyarat.
Makanan adalah
rangsangan wajar, sedang bel adalah rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan
yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan
syarat (kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini
disebut: Refleks Bersyarat atau Conditioned Response. Pavlov
berpendapat bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev,
murid Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut pada manusia, yang ternyata
diketemukan banyak refleks bersyarat yang timbul, namun tidak disadari oleh
manusia. Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasaan
dapat diketahui bahwa, daging yang menjadi stimulus alami dapat digantikan oleh
bunyi bel sebagai stimulus yang dikondisikan. Ketika bel dibunyikan, ternyata
air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan.
Apakah situasi ini
bisa diterapkan pada manusia? Ternyata dalam kehidupan sehari-hari ada situasi
yang sama seperti pada anjing. Sebagai contoh, suara lagu dari penjual es krim
Walls yang berkeliling dari rumah ke rumah. Awalnya mungkin suara itu asing, tetapi
setelah si pejual es krim sering lewat, maka nada lagu tersebut bisa
menerbitkan air liur apalagi pada siang hari yang panas. Bayangkan, bila tidak
ada lagu tersebut betapa lelahnya si penjual berteriak-teriak menjajakan
dagangannya. Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan
strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara
mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan
pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia
dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya. Dengan demikian,
pembiasaan klasik (classical conditioning) dari pavlov didasarkan
atas reaksi tak terkontrol dalam individu setelah menerima rangsangan dari
luar.
Dari uraian di atas,
dapat disimpulkan beberapa karakter dari
klasikal kondisioning, antara lain:
ð Learning took place (Belajar akibat tempat).
Dalam hal ini,
behavioral klasik menekankan bahwa seseorang itu dapat belajar bahkan berubah
dari pengalamannya. Dengan kata lain, bisa mengantisipasi kelemahannya atau
mempelajari dan menyiasati sehingga dapat memecahkan/ menemukan solusinya.
Respon yang
terbentuk bersifat emosional atau fisiologikal dan tidak disengaja. Maksudnya, Respon
yang ada tersebut diluar kontrol kesadaran siswa. Stimulus yang tadinya tidak ada hubungan, menjadi
berhubungan. Conditioned-unconditioned respon adalah identik atau
serupa.
b. Classical Conditioning Di Kelas
Proses belajar dengan
rumus S-R bisa berjalan dengan syarat adanya unsur-unsur seperti dorongan (drive),
rangsangan (stimulus), respon (response), dan penguatan (reinforcement).
Pertama, dorongan
adalah suatu keinginan dalam diri seseorang untuk memenuhi suatu kebutuhan yang
sedang dirasakannya. Seorang anak merasakan adanya kebutuhan akan bahan bacaan
ringan untuk mengisi waktu senggangnya, maka ia terdorong untuk memenuhi
kebutuhan itu, misalnya dengan mencarinya di perpustakaan terdekat. Unsur
dorongan ini ada pada setiap orang meskipun tingkatannya tidak sama: ada yang
kuat, ada pula yang lemah.
Kedua,
adanya rangsangan (stimulus). Kalau dorongan datangnya dari dalam, maka
rangsangan datang dari luar. Bau masakan yang lezat bisa merangsang timbulnya
selera makan yang tinggi, bahkan yang tadinya tidak terlalu lapar pun bisa
menjadi lapar dan ingin segera mencicipinya. Wanita cantik dengan pakaian yang
ketat juga bisa merangsang gairah seksual setiap lelaki dewasa (yang normal) .
Oleh karena itu, dalam islam wanita tidak diperbolehkan berpakaian yang
merangsang, dan bahkan harus menutup seluruh auratnya (Qur’an:24:31). Hal ini
untuk menjaga “keamanan”, menjaga nafsu yang sering tidak terkendali
sebagaimana sering kita dengar adanya tindakan perkosaan brutal yang tidak
berprikemanusiaan.
Dalam sistem
intruksional, rangsangan ini bisa terjadi (bahkan bisa diupayakan) pada pihak
sasaran untuk bereaksi sesuai dengan keinginan komunikator, guru maupun
instruktur. Dalam suatu kuliah siang hari, pada saat para mahasiswa banyak yang
mengantuk dan kurang bergairah, sang dosen bisa merangsangnya dengan berbagai
cara, dan yang sering dilakukan adalah antara lain dengan mengajukan berbagai
pertanyaan yang selektif dan menarik, bercerita ringan atau humor.
Dari adanya
rangsangan tersebut kemudian timbul reaksi, dan memang orang bisa timbul
reaksinya atas suatu rangsangan. Bentuk reaksi berbeda-beda tergantung pada
situasi, kondisi dan bahkan bentuk rangsangan tadi. Reaksi-reaksi yang terjadi
pada seseorang akibat adanya rangsangan dari lingkungan sekitarnya inilah yang
disebut dengan respon dalam teori belajar. Maka unsur yang
Ketiga,
adalah masalah respon. Respon ini bisa dilihat atau diamati dari luar.
Respon ini ada yang positif dan ada pula yang negatif. Respon positif terjadi
sebagai akibat “ketepatan” seseorang melakukan respon (mereaksi) terhadap
stimulus yang ada, dan tentunya yang sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan
respon negatif adalah apabila seseorang bereaksi justru sebaliknya dari yang
diharapkan oleh pemberi rangsangan. Kempat, adalah masalah penguatan (reinforcement).
Unsur ini datangnya dari pihak luar kepada seseorang yang sedang melakukan
respon. Apabila respon telah benar, maka perlu diberi penguatan agar orang
tersebut merasa adanya kebutuhan untuk melakukan respons seperti tadi lagi.
Seorang anak kecil yang sedang mencoret-coret buku kepunyaan kakaknya,
tiba-tiba dibentak dengan kasar, bisa terkejut bahkan bisa menderita guncangan
sehingga ia tidak akan mencoret-coret buku lagi. Bahkan kemungkinan yang paling
jelek di kemudian hari barangkali ia akan benci terhadap setiap yang namanya
tulis menulis. Hal ini adalah bentuk penguatan yang salah. Barangkali akan
lebih baik apabila cara melarangnya dengan kata-kata yang tidak membentak.
Dengan demikian si anak akan merasa dilarang menulis, dan itu namanya anak
diberi penguatan positif sehingga ia merasa perlu untuk melakukan coretan
seperti tadi, tapi di tempat lain. Setiap kali seorang siswa mendapat nilai A
pada mata pelajaran matematika, ia mendapat pujian dari guru; maka selanjutnya
ia akan berusaha mempertahankan prestasinya itu. Dengan kata lain, ia melaksanakan semuanya itu karena
dipuji (diberi penguatan) oleh guru.
Proses belajar akan
terjadi secara terus menerus apabila stimulus dan respon ini berjalan dengan
lancar. Ia berproses secara rutin dan tampak seperti otomatis tanpa
membicarakan hal-hal yang terjadi selama berlangsungnya proses tadi. Namun
dalam hal ini tidak dibicarakan bahwa yang namanya belajar banyak melibatkan
unsur pikiran, ingatan, kemauan, motivasi, dan lain-lain.
Aplikasi atau penerapan klasikal
kondisioning di kelas adalah dengan cara:
·
Menjadikan
lingkungan belajar yang nyamn&hangat, sehingga kelas menjadd satu ksatuan
(saling berhubungan) dengan emosi positf (adanya hubungan
persahabatan/kekerabatan).
·
Pada
awal masuk kelas, guru tersnyum dan sebagai pembukaan bertanya kepada siswa
tetang kabar keluarga, hewan peliharaan/hal pribadi dalam hidup mereka.
·
Guru
berusaha agar siswa merespek satu sama lain pada prioritas tinggi di kelas,
misalnya, pada diskusi kelas guru merangsang siswa untuk berpendapat.
·
Pada
sesi tanya jawab, guru berusaha membuat siswa berada dalam situasi yang nyaman
dengan memberikan hasil (positf outcome – masukn positif). Misalnya, jika siswa
diam/tidak aktif, maka guru bisa memulai dengan pertanyaan ”apa pendapatmu
tentang masalah ini”, atau bagaimana kamu membandingkan dua contoh ini”. Dengan
kata lain, guru memberi pertanyaan yang dapat memancing siswa untuk
berpendapat. Namun jika dengan cara inipun siswa tidak sanggup/ segan untuk
merespon, maka tugas guru untuk membimbing/ memacu sampai siswa memberi jawaban
yang dapat diterima.
c. Generalisasi
dan Diskriminasi
1)
Generalisasi
Yang dimaksud dengan
generalisasi adalah suatu proses berpindahnya/berlakunya suatu respon secara
umum terhadap stimulus/rangsangan lain.
2)
Deskriminasi
Yang dimaksud dengan
deskriminasi adalah suatu proses dimana kita mempelajari bahwa, suatu
rangsangan itu tidak selalu direspon dengan cara yang sama.
d. Extinction
Yang dimaksud dengan extinction
adalah Suatu proses dimana suatu respon berakhir. Atau dengan kata lain, extinction
adalah hilangnya suatu respon pengkondisian.
2.
Edward Lee Thorndike
(1874-1949)
Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang
berkebangsaan Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2
dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898.
Buku-buku yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental
and social Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s
Word Book (1921), Your City (1939), dan Human Nature and The
Social Order (1940).
Menurut
Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara
peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus
adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk
mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat, sedangkan respon adalah
sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Asosiasi yang
demikian itu disebut ”Bond” atau ”connection”. Dalam hal ini,
akan akan menjadi lebih kuat atau lebih lemah dalam terbentuknya atau hilangnya
kebiasaan-kebiasaan. Oleh karena itu, teori belajar yang dikemukakan oleh
Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori
asosiasi. Dengan adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberikan sumbangan
cukup besar di dunia pendidikan tersebut, maka ia dinobatkan sebagai salah satu
tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan. Selain itu, bentuk belajar yang
paling khas baik pada hewan maupun pada manusia menurutnya adalah “trial and
error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung
menurut hukum-hukum tertentu.
Eksperimennya
yang terkenal adalah dengan menggunakan kucing yang masih muda dengan
kebiasaan-kebiasaan yang masih belum kaku, dibiarkan lapar; kemudian dimasukkan
ke dalam kurungan yang disebut ”problem box”. Dimana konstruksi pintu kurungan
tersebut dibuat sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol
tertentu pintu kurungan akan terbuka dan kucing dapat keluar dan mencapai
makanan (daging) yang ditempatkan diluar kurungan itu sebagai hadiah atau daya
penarik bagi si kucing yang lapar itu. Pada usaha (trial) yang pertama,
kucing itu melakukan bermacam-macam gerakan yang kurang relevan bagi pemecahan
problemnya, seperti mencakar, menubruk dan sebagainya, sampai kemudian
menyentuh tombol dan pintu terbuka. Namun waktu yang dibutuhkan dalam usaha
yang pertama ini adalah lama. Percobaan yang sama seperti itu dilakukan secara
berulang-ulang; pada usaha-usaha (trial) berikutnya dan ternyata waktu
yang dibutuhkan untuk memecahkan problem itu makin singkat. Hal ini disebabkan
karena pada dasarnya kucing itu sebenarnya tidak mengerti cara membebaskan diri
dari kurungan tersebut, tetapi dia belajar mempertahankan respon-respon yang
benar dan menghilangkan atau meninggalkan respon-respon yang salah. Dengan
demikian diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons
perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui
usaha–usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error)
terlebih dahulu.
Percobaan
tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and
conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan
membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing
tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai
hasil. Setiap respons menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru
ini akan menimbulkan respons lagi, demikian selanjutnya, sehingga dapat
digambarkan sebagai berikut:
Menurut Thorndike, ada tiga hukum belajar
yang utama dan ini diturunkannya dari hasil-hasil penelitiannya. Hukum tersebut
antara lain:
1. The Law Of Readiness (Hukum Kesiapan)
Hukum kesiapan yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu
perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan
kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar merupakan suatu kegiatan
membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan
kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada
kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini
dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi
memuaskan.
Menurut Thorndike, ada beberapa kondisi yang akan muncul pada hukum
kesiapan ini, diantaranya:
a. Jika ada kecenderungan untuk
bertindak dan orang mau melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain.
b. Jika ada kecenderungan untuk bertindak, tetapi ia tidak mau melakukannya,
maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain
untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
c. Jika belum ada kecenderungan bertindak, namun ia dipaksa melakukannya, maka
hal inipun akan menimbulkan . Akibatnya, ia juga akan melakukan tindakan lain
untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
2. The Law of Exercise (Hukum Latihan)
Hukum latihan yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih
(digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Dalam hal ini, hukum
latihan mengandung dua hal:
a.
The Law of Use
Hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah kuat, kalau
ada latihan yang sifatnya lebih memperkuat hubungan itu.
b.
The Law of Disue
Hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah lemah atau
terlupa kalau latihan-latihan dihentikan, karena sifatnya yang melemahkan
hubungan tersebut.
3. The Law of Effect (Hukum Akibat)
Hukum akibat yaitu hubungan stimulus respon yang cenderung diperkuat bila
akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.
Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya
koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat
menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya,
suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan
tidak akan diulangi.
Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan
bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan
yang pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis
gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR
akan membentuk sikapnya.
Thorndike berkeyakinan
bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang berlaku
pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang
tanpa diperantarai pengartian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari
apa yang diamati dan terjadi secara mekanis. (Suryobroto, 1984).
Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan
sebagai berikut:
a.
Hukum Reaksi Bervariasi (law of multiple response).
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh
proses trial dan error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon
sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b.
Hukum Sikap ( law of attitude).
Hukum ini menjelaskan bahwa perilaku belajar seseorang
tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga
ditentukan oleh keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi,
sosial, maupun psikomotornya.
c.
Hukum Aktifitas Berat Sebelah (law of prepotency
element).
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses
belajar memberikan respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya
terhadap keseluruhan situasi ( respon selektif).
d. Hukum Respon Melalui Analogi (law of response by analogy).
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam
melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami karena individu
sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan
situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan
unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin
mudah.
e.
Hukum Perpindahan Asosiasi (law of associative shifting).
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari
situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap
dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit
demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyampaian teorinya Thorndike
mengemukakan revisi hukum belajar antara lain :
1.
Hukum latihan ditinggalkan karena
ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus
respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan stimulus respon belum tentu
diperlemah.
2.
Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike
bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah,
sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.
3.
Syarat
utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling
sesuai antara stimulus dan respon.
4.
Akibat
suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain.
Teori koneksionisme
menyebutkan pula konsep transfer of training, yaitu kecakapan yang telah
diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain. Perkembangan
teorinya berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem boxnya.
B.
Aplikasi Teori Behavioral Klasik Dalam Pendidikan
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori
behavioral adalah ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:
Ø Mementingkan pengaruh lingkungan;
Ø Mementingkan bagian-bagian;
Ø Mementingkan peranan reaksi;
Ø Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus
respon;
Ø Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya;
Ø Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan;
Ø Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Sebagai konsekuensi dari teori ini, para guru yang
menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk
yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa
disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah, tetapi
instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun
melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana
sampai pada yang kompleks. Sementara itu, tujuan pembelajaran dibagi dalam
bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu.
Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati, serta
kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan
dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan.
Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya
suatu perilaku yang diinginkan. Dimana perilaku yang diinginkan mendapat
penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai, mendapat penghargaan
negatif. Dalam hal ini, evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang
tampak/kelihatan.
C.
Implikasi Teori Behavioral Klasik Dalam Pendidikan
Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam suatu
situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang
sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral, bersikap
otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa
yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar,
dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya
mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar
dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat
dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap sebagai metode yang
paling efektif untuk menertibkan siswa.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan
kemampaun yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur
seperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya,
contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer,
berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok
diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang
dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan
bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
B.
Saran
Ø Dalam penerapan teori belajar terhadap peserta didik harus disesuaikan
dengan kondisi siswanya.
Ø Sebagai orang yang dijadikan contoh haruslah berbuat penuh pertimbangan
karena sebagai figur anak-anaknya dan peserta didiknya.
DAFTAR PUSTAKA
- Crow, D. Lester, .Crow, Alice: Kasijan Z.. Psikologi Pendidikan. PT. Bina Ilmu. 1984
- Djamarah, Syaiful Bahri. Psikologi Belajar. Rineka Cipta. 2002.
- Eggen ,P., Kauchak, D.. Educational Psychology,Third Edition. Prentice Hall. 1997.
- Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, edisi Revisi. Remaja Rosdakarya, 1997.
- Suryabrata, S..Psikologi Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada. 1995.
- http://www.psikomedia.com/article/article/Psikologi-Pendidikan/1057/Teori-Psikologi-Belajar-dan-Aplikasinya-Dalam-Pendidikan/ (diunduh pada tanggal 24 Desember 2011).
TERIMAKASIH YA ATAS REFRENSINYA, SANGAT MEMBANTU UNTUK MENAMBAH WAWASAN SAYA
BalasHapus